|
A.
Latar Belakang
Ultisol/PMK
dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga
mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah.
Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol/PMK dan sangat
merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan
tanah Ultisol/PMK sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik
pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan
organik dan hara. Tanah Ultisol/PMK mempunyai tingkat perkembangan yang cukup
lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring
dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah.
Pada umumnya
tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik.
Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar
seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan
peka terhadap erosi Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik.
Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit,
karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi
merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik.
B.
Tujuan
Tujuan praktikum
dasar-dasar ilmu tanah adalah :
1.
Untuk
mengetahui pH pada tanah pedsolik merah kuning (PMK)
2.
Untuk
mengetahui ada tidaknya kandungan Al dd dan H dd pada tanah pedsolik merah kuning(PMK)
3.
Untuk
mengetahui persentase C organik pada tanah pedsolik merah kuning (PMK) .
4.
Untuk
mengetahui persentase kadar air dalam tanah pedsolik merah kuning (PMK).
5.
Untuk
mengetahui persentase kandungan nitrogen (N) dalam tanah pedsolik merah kuning (PMK).
6.
Untuk
mengetahui kandungan fosfor (P2O5) pada tanah pedsolik merah kuning (PMK).
II.
|
Nama
podsolik merah kuning yang menjadi sangat terkenal di Indonesia diperkenalkan
untuk pertama kali dalam pustaka ilmu tanah Indonesia oleh Dudal dan
Soepraptohardjo (1957). Nama ini digunakan dalam sistem klasifikasi tanah
susunan Baldwindkk., (1938).
Sebelum nama podsolik merah kuning
masuk ke Indonesia, tanah ini termasuk dalam golongan tanah lateritik. Van der
Voort (1950) lebih suka menyebutnya tanah laterik terdegradasi, yang
menunjukkan persepsinya bahwa tanah itu telah mengalami kerusakan berat. Dames
(1955) memakai nama tanah laterik terdegradasi, yang juga mencerminkan suatu
pendapat bahwa tanah tersebut telah mengalami proses pemunduran kesuburan.
Pada umumnya
Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama menurut
Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning
(PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari
10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo et al. 1986; Suharta
dan Prasetyo 1986; Rachim et al. 1997; Suhardjo dan Prasetyo 1998;
Alkusuma 2000; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).
Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral
primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih
keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna
kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi
kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit
(Eswaran dan Sys 1970; Allen dan Hajek 1989; Schwertmann dan Taylor 1989).
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh
bahan induk tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa
umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan
Prasetyo 1986), sedangkan tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan
tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus
(Subardja 1986; Subagyo et al. 1987; Isa et al. 2004; Prasetyo et
al. 2005).
Ultisol umumnya mempunyai struktur sedang hingga kuat,
dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa et al. 2004;
Prasetyo et al. 2005). Komposisi mineral pada bahan induk tanah
mempengaruhi tekstur Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk
kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur
yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan
andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang
halus. Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan
fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang disyaratkan dalam Soil
Taxonomy (Soil Survey Staff 2003).
Horizon tanah dengan peningkatan liat tersebut dikenal
sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil
analisis di laboratorium maupun dari penampang profil tanah. Horizon argilik
umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang
menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horizon ini dan hanya berkembang
di atas horizon argilik (Soekardi et al. 1993).
Horizon
tanah dengan peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik.Horizon
tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari
penampang profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka
terhadap perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat
menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et
al. 1993).
Konsepsi pokok dari
Ultisol (ultimus, terakhir) adalah tanah-tanah berwarna merah kuning, yang
sudah mengalami proses hancuran iklim lanjut sehingga merupakan tanah yang
berpenampang dalam sampai sangat dalam (> 2 m), menunjukkan adanya kenaikan
kandungan liat dengan bertambahnya kedalaman yaitu terbentuknya horizon bawah
akumulasi liat (Musa, dkk, 2006).
Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan
oleh penampang tanah yang dalam,kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah,
reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai
potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik.Tanah ini juga miskin kandungan
hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K,
kadar Al tinggi,kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri
Adiningsih dan Mulyadi 1993).
Tanah Ultisol mempunyai horizon argilik,
dengan reaksi agak masam sampai masam dengan kandungan basa-basa rendah yang
diukur dengan kejenuhan basa pH 7 < 50 % pada kedalaman 125 cm dibawah atas
horizon argilik/kandik atau 180 cm dari permukaan tanah (USDA, 2006).
Pada
umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama
menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah
Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari
10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo et al. 1986; Suharta dan
Prasetyo 1986; Rachim et al. 1997;Suhardjo dan Prasetyo 1998;
Alkusuma2000; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).
Warna
tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan
warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa
dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti
goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat
warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah
makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys1970; Allen dan Hajek 1989;
Schwertmann dan Taylor 1989).
Tekstur
tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah
Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur
yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan Prasetyo 1986), sedangkan tanah
Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur
yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja 1986; Subagyo et al. 1987;
Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Ultisol umumnya mempunyai
struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997;
Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Komposisi mineral pada
bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol. Bahan induk yang didominasi
mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir,
cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral
mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan
tanah dengan tekstur yang halus.
Tanah
Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena batas ini
merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah Ultisol menurut Soil
Taxonomy. Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation
< 16 cmol/kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik. Reaksi tanah
Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali tanah
Ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH
6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan
tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol/kg,
6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan
andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan
batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi (Prasetyo et al.
2000; Prasetyo et al. 2005)
Ultisol
dari bahan sedimen mempunyai kesuburan alami yang lebih rendah daripada Ultisol
dari bahan volkan atau batu kapur, karena bahan sedimen sudah merupakan hasil
perombakan bahan lain sehingga kandungan unsur haranya pun rendah. Ultisol dari
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang berkembang dari batuan sedimen
batu pasir dan batu liat mempunyai nilai kapasitas tukar kation tanah 3−18
cmol(+)/kg, kejenuhan basa 3−9%, kejenuhan Al 33−95%, dan pH 3,70−5 (Prasetyo
dan Suharta 2000; Yatno et al.2000;Prasetyo et al. 2001).
Sementara itu tanah Ultisol dari bahan volkan mempunyai nilai kapasitas tukar
kation 13,80− 25,49 cmol(+)/kg tanah, kejenuhan basa 4−35%, kandungan Al 0−16%,
dan pH tanah 4,60−5,70 (Subagyo et al. 1987; Prasetyoet al. 2005).
Susunan
mineral primer yang dominan pada Ultisol dengan bahan induk yang berbeda disajikan
pada Tabel 3. Kuarsa yang dominan terdapat pada Ultisol yang terbentuk dari
tufa berkapur dan dari batuan granit (Pedon 3, Typic Haplohumults dan Pedon 1,
Typic Kandiudults). Pada Ultisol yang berkembang dari batuan tufa masam ( Pedon
2, Typic Paleudults), kuarsa dan opak mendominasi susunan mineral pasir,
sedangkan pada Ultisol dari bahan volkan intermedier (Pedon 4, Typic
Paleudults), opak merupakan mineral yang dominan pada fraksi pasir. Yatno et
al. (2000) menyatakan Ultisol dari batuan liat dan pasir didominasi oleh
mineral kuarsa. mineral mudah lapuk (weatherable mineral) seperti ort oklas,
biotit, epidot, gelas volkan olivin, sanidin amfibol, augit, dan hiperstin pada
tanah Ultisol umumnya rendah bahkan sering tidak ada (Subardja 1986; Suharta
dan Prasetyo 1986; Prasetyo et al. 1998; Prasetyo et al. 2005).
Dengan
demikian Ultisol tergolong tanah yang miskin akan unsur hara. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa bahan induk tanah Ultisol menentukan komposisi
mineralnya. Pada tanah yang berbahan induk batuan masam, mineral primer
didominasi oleh kuarsa, sedangkan pada tanah dari bahan volkan didominasi oleh
opak. Tufa masam merupakan jenis batuan sedimen masam dari bahan volkan
sehingga komposisi mineral primernya didominasi oleh campuran opak dan kuarsa.
Komposisi
mineral liat Ultisol didominasi oleh kaolinit (Suharta dan Prasetyo 1986;
Setyawan 1997; Prasetyo et al. 2001; Alkusuma dan Badayos 2003; Prasetyo
et al. 2005). Mineral liat lainnya adalah vermikulit dengan
puncak difraksi 14,2A dan gibsit dengan puncak difraksi 4,83A. Puncak difraksi
11A pada perlakuan pemanasan K+ hingga 550°C menunjukkan adanya interlayer hidroksi
Al. Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basa-basa yang
intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik. Kondisi
tersebut sangat menunjang untuk pembentukan mineral kaolinit.
Namun,
dominasi kaolinit tersebut tidak mempunyai kontribusi yang nyata pada sifat
kimia tanah, karena kapasitas tukar kation kaolinit sangat rendah, berkisar 1,20−12,50
cmol/kg liat (Briendly et al. 1986; Prasetyo dan Gilkes 1997). Mineral liat
lainnya yang sering dijumpai adalah haloisit dan gibsit (Subagyo et al. 1986).
Adanya mineral smektit pada tanah Ultisol pernah dilaporkan oleh Subagyo et
al. (1986) pada Ultisol dari batuan gamping di daerah Tuban, Jawa Timur dan
oleh Prasetyo et al. (2000) pada Ultisol dari bahan tufa berkapur di
daerah Pametikarata, Sumba Timur. Smektit merupakan jenis mineral 2:1 yang
kehadirannya dalam tanah akan sangat menentukan sifat fisik dan kimia tanah.
Pembentukan mineral ini memerlukan lingkungan dengan pH netral dan terjadi
akumulasi basa-basa dan silika. Pada kedua jenis tanah Ultisol tersebut,
smektit berasal dari bahan induk tanah (inherited) yang terbentuk
melalui proses geologi (geogenic), bukan melalui proses
pembentukan tanah (pedogenic). Smektit pada Ultisol umumnya
sedang dalam proses pelapukan, yang dicirikan oleh tingginya Al dapat ditukar
dan nilai kapasitas tukar kation yang rendah.
Untuk
mengatasi kendala kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi dapat dilakukan pengapuran.
Reaksi tanah masam dengan kejenuhan Al tinggi sudah menjadi merek dari tanah ini.
Kemasaman tanah berhubungan erat dengan kejenuhan Al, seperti yang dilaporkan
oleh Abruna et al. (1975), % kejenuhan Al = 516,10−163,97
kemasaman tanah + 12,70 (kemasaman tanah)2 dengan r = 0,90.
Terdapat
hubungan yang sangat nyata antara takaran kapur dengan Al dan kejenuhan Al (Sri
Adiningsih dan Prihatini 1986). Pengapuran efektif mereduksi kemasaman (Wade et
al. 1986), dan pemberian kapur setara dengan l x Aldd dapat menurunkan
kejenuhan Al dari 87% menjadi < 20% (Sri Adiningsih dan Prihatini 1986).
Pada tanaman kedelai, pemberian kapur hingga kedalaman 30 cm dapat memberikan
hasil tertinggi, tetapi residu kapur tidak mempengaruhi tinggi tanaman jagung
yang ditanam setelah kedelai, dan hanya berpengaruh pada bobot tongkol basah
(Suriadikarta et al. 1987a; 1987b).
Pemberian
kapur dapat mengatasi masalah kemasaman tanah dan juga menjamin tanaman dapat
bertahan hidup dan berproduksi bila terjadi kekeringan (Amien et al. 1990).
Takaran kapur didasarkan pada Aldd atau persentase kejenuhan Al, karena setiap
jenis tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai toleransi yang berbeda
terhadap kejenuhan Al. Makin besar persentase kejenuhan Al dalam tanah, makin
banyak kapur yang harus diberikan ke dalam tanah untuk mencapai pH agak netral
sampai netral. Pengapuran tampaknya dapat mengatasi masalah kejenuhan Al dan kemasaman
pada tanah Ultisol. Namun di beberapa daerah seperti di Kalimantan dan Sumatera,
ketersediaan kapur relatif terbatas, dan bila tersedia harganya belum tentu
terjangkau oleh petani. Pengapuran sebaiknya hanya dilakukan bila pH tanah di
bawah 5 karena pada pH di atas 5,50, respons Al rendah karena sudah mengendap menjadi
Al (OH)3
Ultisol
pada umumnya memberikan respons yang baik terhadap pemupukan fosfat. Penggunaan
pupuk P dari TSP lebih efisien dibanding P alam (Hakim dan Sediyarsa 1986), namun
pengaruh takaran P terhadap hasil tidak nyata. Pemberian P 200−250 ppm P2O5
pada tanah Ultisol dari Lampung dan Banten dapat menghasilkan bahan kering 3−4
kali lebih tinggi dari perlakuan tanpa fosfat (Sediyarsa et al.44 Jurnal
Litbang Pertanian, 25(2), 2006 1986).
Di
samping itu pengaruh residu pemupukan P masih terlihat walaupun hasil tanaman
lebih rendah dari pertanaman sebelumnya (Sugiyono et al. 1986). Respons
tanaman jagung terhadap pemupukan P dan N pada tanah Typic Paleudults sangat
tinggi karena status kesuburan Typic Paleudults sangat rendah. Penelitian
lanjutan menunjukkan bahwa takaran pupuk P dan N untuk pertanaman jagung kedua
lebih kecil dari pertanaman pertama (Soepartini dan Sholeh 1986).
Residu
pupuk P pada tanah Ultisol memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan
dan hasil kedelai (Suriadikarta dan Widjaja-Adhi 1986), bahkan residu P sebesar
3 x 60 kg P/ha dapat menaikkan ketersediaan P dalam tanah dari 3,30 menjadi
10,10 ppm P2O5. Pupuk K dalam bentuk KCl diberikan dengan takaran 100−130 kg
KCl/ha.
Tanah
Ultisol umumnya peka terhadap erosi serta mempunyai pori aerasi dan indeks
stabilitas rendah sehingga tanah mudah menjadi padat. Akibatnya pertumbuhan
akar tanaman terhambat karena daya tembus akar ke dalam tanah menjadi berkurang.
Bahan
organik selain dapat meningkatkan kesuburan tanah juga mempunyai peran penting dalam
memperbaiki sifat fisik tanah. Bahan organik dapat meningkatkan agregasi tanah,
memperbaiki aerasi dan perkolasi, serta membuat struktur tanah menjadi lebih
remah dan mudah diolah. Bahan organik tanah melalui fraksi-fraksinya mempunyai
pengaruh nyata terhadap pergerakan dan pencucian hara. Asam fulvat berkorelasi positif
dan nyata dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci, sedangkan asam humat berkorelasi
negatif dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci (Subowo et al. 1990).
Pengelolaan
bahan organik dengan penanaman Mucuna sp. selama 3 bulan dan
pengembalian serasah + pupuk kandang 10 t/ha pada guludan dapat meningkatkan
pori tanah, dan pori air tersedia, serta menurunkan kepadatan tanah (Erfandi et
al. 2001). Pada Ultisol dari Sitiung, pemberian bahan organik berupa kotoran
sapi, jerami, dan Flemingia congesta dapat meningkatkan kandungan
bahan organik dan kapasitas tukar kation serta menghalangi serapan P dan Mg dalam
tanah (Nursyamsi et al. 1997).
Pengelolaan
tanah dan bahan organik berupa sisa tanaman jagung, F. congesta, dan Mucuna
sp. sebagai mulsa sangat efektif mencegah erosi serta mengurangi konsentrasi
sedimen dan aliran permukaan (Kurnia et al. 2000). Pemberian berbagai jenis
dan takaran pupuk kandang (sapi, ayam, dan kambing) dapat memperbaiki sifat
fisik tanah, yaitu menurunkan bobot isi serta meningkatkan porositas tanah dan
laju permeabilitas (Adimihardja et al.2000).
Penambahan
bahan organik dari pupuk kandang maupun sisa-sisa tanaman atau hasil penanaman
seperti Mucuna sp. dan F. congesta dapat memperbaiki sifat fisik
tanah seperti pori air tersedia, indeks stabilitas agregat, dan kepadatan
tanah. Pemberian bahan organik baik dari sisasisa tanaman maupun yang sengaja ditanam
tidak menimbulkan masalah bagi petani, tetapi pemberian pupuk kandang dengan
takaran hingga 10 t/ha akan sangat sulit diterapkan oleh petani. Penyediaan
bahan organik dapat pula diusahakan melalui pertanaman lorong (alley
cropping). Selain pangkasan tanaman dapat menjadi sumber bahan organik
tanah, cara ini juga dapat mengendalikan erosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penanaman Flemingia sp. dapat meningkatkan pH tanah dan kapasitas tukar
kation serta menurunkan kejenuhan Al (Hafif et al. 1993; Irianto et
al. 1993; Suhardjo et al. 1997).
Sifat-sifat
penting pada tanah Ultisol berkaitan dengan jumlah fosfor dan mineral-mineral
resisten dalam bahan induk, komponen-komponen ini umumya terdapat dalam jumlah
yang tidak seimbang, walupun tidak terdapat beberapa pengecualian. Ultisol yang
berkembang pada bahan induk dengan kandungan fosfor yang lebih tinggi.
Translokasi/pengangkutan liat yang ekstensif berlangsung meninggalkan residu
yang cukup untuk membentuk horizon-horison permukaan bertekstur kasar atau
sedang (Lopulisa, 2004).
Selain bahan
organic melalui proses dekomposisi dapat menyediakan nutrisi tanaman.
Dekomposisi bahan organic oleh berbagai mikroorganisme tanah berlangsung lamban
akan tetapi terus berlangsung secara beransur-ansur, keadaan demikian
menyebabkan terbebasnya fosfor dan elemen-elemen lainnya yang esensial bagi
pertumbuhan tanaman (Munir, 1996).
Cara
konvensional dengan system tebang bebas dan bakar ternyata menyebabkan pH tanah
basa-basa dapat tukar dan fosfor tersedia dalam tanah akan meningkat pada
awalnya, tetapi setelah 1,5 tahun kemudian akan mengalami penurunan, sehingga
ditanami dua atau tida tahun produktivitasnya akan menurun secara tajam
(Soepardi, 1979).
Ultisol
merupakan tanah yang telah mengalami proses pelapukan lanjut melalui proses
Luxiviasi dan Podsolisasi. Ditandai oleh kejenuhan basa rendah (kurang dari 35%
pada kedalaman 1,8 m), Kapasitas Tukat Kation kurang dari 24 me per 100 gram
liat, bahan organic rendah sampai sedang, nutrisi rendah dan pH rendah (kurang
dari 5,5) (Munir, 1996).
Tingkat
pelapukan dan pembentukan Ultisol berjalan lebih cepat, daerah-daerah yang
beriklim humid dengan suhu tinggi dan curah hujan tinggi menyebabkan Ultisol
mempunyai kejenuhan basa-basa rendah. Selain itu Ultisol juga mempunyai
kemasaman tanah, kejenuhan Aldd tinggi, Kapasitas Tukar Kation rendah (kurang
dari 24 me per 100 gram tanah), kandungan nitrogen rendah, kandungan fosfat dan
kalium tanah rendah serta sangat peka terhadap erosi(Soepraptoharjo, 1979).
Pengaruh
pemupukan lebih lanjut pada tanah Podsolik merah kuning untuk menambah jumlah
dan tingkat ketersediaan unsure hara makro, karena telah diketahui bahwa
Ultisol miskin akan basa-basa (yang ditandai dengan kejenuhan basa kurang dari
35%) dan KTK rendah (kurang dari 24 me per 100 gram liat) (Munir, 1996).
KTK dan jumlah
kemasaman terukur pada Ultisol sanagt tergantung pada pH larutan yang digunakan
dalam penetapan, misalnya nilai terbesar dari KTK dan kemasaman umumnya
diperoleh bila penetapan dilakukan pH 8,2 sedang pada pH 7,0 dan terendah bila
ditetapkan pada pH tanah. Sumber utama KTK bergantung pH dan kemasaman mencakup
hidrolisis senyawa-senyawa Al hidroksi antar lapisan (Soepardi, 1979).
Penerapan
pola tanam tumpang gilir di produksi dengan pemberian mulsa setiap panen pada tanah
Ultisol dapat menekan erosi pada lereng 15% hingga di bawah nilai erosi yang
dapat diabaikan (Barus et al. 1986). Pada lereng sekitar 4%, penggunaan
untuk mencegah erosi cukup baik asalkan diikuti pengelolaan tanah yang baik
pula (Suwardjo et al. 1987).
III.
|
A.
Waktu dan
Tempat
Praktikum
ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Islam
Riau, Jalan Kaharuddin Nasution KM 11
No. 113 Marpoyan Kelurahan Simpang Tiga, Kecamatan Bukit Raya, Pekanbaru. Praktikum ini dilaksanakan sebanyak 2 kali
pertemuan, mulai hari
Kamis 23 Oktober dan Senin, 27 Oktober 2014 (lampiran I).
B.
Bahan dan Alat
Bahan
yang akan digunakan dalam praktikum ini adalah Aqudes, larutan 1 N KCL,
NaOH 0,1 N,HCL 0,1 N, tanah sampel,NaF 4%,
, Ba
, asam sulfat, katalis campuran (CuS
,
, selen bubuk), asam borak 1% (
), NaH
, pereaksi P (ammonium molybdate) , K(SbO)
,
,
Alat
yang digunakan adalah pipet tetes, pipet ukur, timbangan analitik,erlemeyer,
mesin kocok, kertas saringan, alat untuk mengerus,gelas breaker, oven, pinset,
gelas piala.
C.
Pelaksanaan Praktikum
Pembuatan Regen
Danprosedur Kerja
1.
Penetapan pH tanah
a.
Alat-alat
-
pH meter
-
gelas piala 250
ml
-
mesin kocok
b.
Bahan-bahan
-
Air suling
(Aquades) 50 ml – 100 ml
-
Tanah 50 gram
c.
Prosedur
kerja
-
Masukkan 50 gram
tanah ke dalam gelas piala dan tambahkan 50 ml air suling (pH H2O 1:1)
-
Kocok selama 15 menit
dengan mesin pengocok, kemudian diamkan sebentar
-
Ukur dengan pH
meter
-
Catat hasil
pengamatan.
2.
ANALISIS Al dd dan H dd
Penetapan
Al dan H dapat ditukarkan (Al dd dan H dd)
a.
Pembuatan regen
-
Larutan 1 N KCL
(74,5 gram KCl dalam 1 liter Aquades)
-
NaOH 0,1 N
-
HCl 0,1 N
-
NaF 4 % (4 gram
NaF larutkan ke dalam 100 ml Aquades)
b.
Alat-alat
-
Erlemeyer 250 ml
-
mesin kocok
-
kertas saring
-
pipet ukur
-
pipet tetes
-
alat untuk
menggerus
c.
Bahan-bahan
-
KCL
-
HCl
-
NaOH
-
NaF 4%
d.
Prosedur kerja
-
Gerus / di
haluskan tanah jika masih kasar
-
Timbang sampel
10 gram tanah masukkan ke dalam erlemeyer 250 ml
-
Tambah 100 ml 1
N KCL, kocok selama 15 menit
-
Saring dengan
kertas saring whatman 42 (jika larutan tersebut keruh tetapi jika tidak maka
larutan tersebut cukup di endapkan
-
Pipet hasil
saringan/endapan 25 ml masukkan ke dalam erlemeyer
-
Tambah 5 tetes
indikator pp (menggunakan pipet tetes)
-
Titer dengan 0,1
N NaOH sampai berubah warna (missal merah muda) catat jumlah NaOH yang terpakai
-
Tambah 0,1 ml
HCl 0,1 N sehingga warna merah muda hilang
-
Tambahkan 10 ml
NaF 4% warna merah muda akan timbul kembali bila tanah tersebut mengandung Al
-
Titer dengan HCl
0,1 N sampai warna merah hilang kembali (catat jumlah HCl yang terpakai).
Perhitungan :
me H-dd/100 g =
(ml NaOH x N NaOH) – (ml HCl x N HCl) x 40
me Al-dd/100 g =
ml HCl x N HCl x 40
konstanta 40 berasal dari = (100 ml / 25 ml) x (100 g / 10 g)
3.
ANALISIS
C-organik
Karbon
sebagai senyawa organik akan mereduksi
menjadi
dalam suasana asam, intensitas warna yang
terbentuk setara dengan kadar karbon dan dapat diukur dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 645 nm.
a.
Pembuatan regen
-
Larutan 1 N
(49,04 gram
dilarutkan dengan 1L Aquades)
-
Asam sulfat pekat (96%)
-
Larutan 0,5 Ba
(5
gram Ba
dilarutkan dengan 1 L Aquades )
b.
Alat – alat
-
Erlemeyer 250 ml
-
|
-
Timbangan analitik
-
Pipet ukur
-
Pipet tetes
-
Alat ukur untuk mengerus
c.
Bahan – bahan
-
-
Ba
-
Asam sulfat
d.
Prosedur kerja
-
Gerus tanah/sampel jika kasar kemudian
timbangkan 0,2 g tanah
-
Tambah 10 ml larutan 1 N
-
Tambahkan 5 ml asam sulfat Pekat,
goncang hingga tercampur kemudian diamkan selama 30 menit
-
Tambahkan 50 ml larutan 0,5% Ba
sehingga sulfat mengendap menjadi Ba
-
Diamkan 1 malam hingga jernih
-
Lakukan juga untuk larutan standar dan
blanko seperti pekerjaan pada sampel
-
Setelah jernih pindahkan larutan kedalam
kuvet
-
Kemudian ukur absorpasi pada panjang
gelombang 645 nm
-
Catat absorban sampel dan standar
Perhitungan
:
%C
=
(mg C kurva/mg contoh) x 100%
Persentase
bahan organik = 1,72 x C-Organik
4. Penetapan kadar air
a.
Alat – alat
-
Gelas Breaker
-
Oven
-
Pinset
-
Timbangan analitik
b.
Bahan – bahan
-
Sampel tanah
c.
Prosedur kerja
-
Keringkan selama 30 menit gelas breaker
kedalam oven pada suhu 125 c
-
Setelah 30 menit masukkan kedalam
desikator selama 45 menit dan timbang,( catat hasil timbangan)
-
Tamabahkan 5 gram tanah/sampel didalam
gelas breaker
-
Masukkan kedalam oven pada suhu 105 C
selama 1 jam, kemudian pindahkan kedalam desikator
-
Setelah 45 menit lalu ditimbang (catat
hasil timbangan keringnya)
Perhitungan :
% kadar air tanah = {(berat basah – berat kering
tanah) / berat kering tanah x 100 %
5.
ANALISIS N-total
Senyawa Nitrogen organik dapat dioksidasi dalam
lingkungan asam sulfat pekat membentuk (
. Ammonium
sulfat yang terbentuk disuling dengan penambahn NaOH. Selanjutnya
yang dibebaskan diikat oleh asam borak dan
dapat dititer dengan
dengan menggunakan indikator Conway
a.
Pembuatan regen
-
Asam sulfat
pekat
-
Katalis
campuran/ campuran selen (1,55g Cu
+ 96,9g
anhidrat dan + 1,55 g selen bubuk
kemudian digerus )
-
Asam borak 1%
(larutan 10 g
dengan 1 liter Aquades)
-
NaOH 40% (400g
NaOH dilarutkan kedalam 1 L Aquades)
-
Indikator
campuran/penunjuk Conway (larutan 0,1g merah metil (methyred) dan 0,150 g hijau
bromkresol (bromkresol green) kedalam 100 ml ethanol absolute )
-
Larutan baku
asam sulfat 0,05 N
b.
Prosedur kerja
-
Timbang 0,5 g
sampel tanah yang telah digerus, masukan ke dalam erlemeyer 250 ml
-
Tambahkan 0,5 g
katalis campuran (setara dengan 1 spatula) dan tambahkan 3 ml asam sulfat pekat
-
Direduksi/
dipanaskan selama ± 1 jam pada suhu 200 ̊C (sampai keluar asap putih) setelah
itu angkat dan dinginkan dalam ruang (Fume Hood ).
-
Lalu di encerkan
dengan 25 ml aquades ditambah 20 ml NaOH 40% jadikan 100 ml larutan dengan
penambahan aquades.
-
Hasil destruksi
dipindahkan ke dalam labu didih lalu di destilasi.
-
Untuk penampung
destilat disiapkan erlemeyer 100ml yang berisi 10 ml
1
% dan ditambah 7 tetes indikator campuran (akan berwarna hijau).
-
Destilasi
dilakukan sampai diperoleh destilat sekitar 50-75 ml.
-
Destilat dititer
dengan
0,05 N sampai berubah warna (catat jumlah
yang terpakai).
Perhitungan %N =
Dimana
: T1 = ml
0,05 N yang terpakai untuk titrasi blanko
T2 = ml
0,05 N yang terpakai untuk titrasi sampel
N = normalitas
6.
ANALISIS Fosfor Tersedia
Fosfor dalam suasana
netral/alkalin dalam tanah akan terikan sel pengekstrak
akan mendapatkan Ca, Mg-
sehingga kedalam larutan. Pengekstrak ini juga
dapat digunakan untuk tanah asam. Tanah asam terikat berbagai Fe, Al fosfat.
Penambahan pengekstrak
menyebabkab Fe, Al-hidroksida, sehingga
fosfat dibebaskan.
a.
Pembuatan regen
-
Pengekstrak
0,5 N, pH (olsen) dilarutkan 42,0 g
dengan aquades encerkan menjadi 1 liter,
pH larutan ditetapkan menjadi 8,5 dengan penambahan NaOH.
-
Pereaksi P pekat : dilarutkan 12 g
ammonium molybdate, (
4
O dengan 100 ml aquades tambahkan 0,227g
K(Sbo)
dan secara perlahan tambahkan 140 ml
pekat, jadikan 1 liter.
-
Pereakasi pewarna P : Campuran 1,06 asam
absorbat dan 100 ml pereaksi P pekat, kemudian jadikan 1 liter (tambahkan 25 ml
N sebelum di encerkan)
-
Larutan induk P 500 ppm : dilarutkan
2,1954g
(keringkan pada suhu 40
) dengan aquades, encerkan menjadi 1
liter.
-
Larutan standar (0,5 ; 1,0 ; 2,0 ;4,0
;8,0 )
b.
Prosedur kerja
-
Timbang 1 gram
sampel tanah masukkan ke dalam erlemeyer. Ditambah 20 ml pengekstrak olsen
kemudian dikocok selama 15 menit.
-
Disaring dengan
kertas whatman 42 dan bila larutan keruh disaring kembali.
-
Ekstrak dipipet
10 ml kedalam labu ukur 50 ml.
-
Sampel dengan
aquades 10 ml masukkan kedalam labu ukur 50 ml
-
Ditambah 10 ml
pereaksi pewarna P untuk masing- masing sampel.
-
Kocok hingga
homogen dan biarkan selama 10 menit.
-
Pipet sampel
tanah 1 ml ke dalam 50 ml labu ukur, tambah aquades hingga 50 ml.
-
Kemudian
masukkan sampel tanah dan sampel control kedalam kuvet masing-masing.
-
Absorbansi
larutan diukur dengan spektofotometer pada panjang gelombang 660 nm.
-
Catatan hasil
absorbansinya.
Perhitungan : konsentrasi fosfor dihitung dengan
menggunakan regresi liner dari larutan standar.
Kadar P tersedia (ppm) = (konsentrasi x ml ekstrak)/
g sampel tanah.
D.
Pengamatan
Tanah
PMK dari daerah pekanbaru
1.
pH =
4,72
2.
Berat sampel Al
dd dan H dd = 10,0828 gram
NaOH 0,1 N =
2 ml
HCl 0,1 N =
1,5 ml
3.
Berat sampel
C-organik = 0,2084 gram
Blanko =
0,116 Abs
Sampel =
0,118 Abs
4.
Berat sampel
Fosfor = 1,0973 gram
Blanko
=
0,117 Abs
Sampel
=
0,124 x 50 = 6,2 Abs
5.
Berat sampel N = 0,5023 gram
H2SO4
=
1,7 ml
6.
Berat breaker = 34,8947 gram
Berat
tanah basah =
5,0228 gram
Berat kering = 39,5175
gram
IV.
|
A.
Analisis pH Tanah
Hasil pengamatan dari pengukuran pH tanah pada tanah
Pedsolik Merah Kuning yang terdapat di kawasan stadion UR (Universitas Riau, Pekanbaru)
yaitu 4,72 dengan pH tersebut tanaman yang dapat ditanami adalah Jenis
tanaman semusim lebih bagus karena banyak menyumbang bahan organik dalam tanah
karena sirkulasi panen tanaman semusim cepat sehingga sisa serasah tanaman
dapat dikembalikan cepat ke dalam tanah. Kebun karet memiliki nilai bahan
organik lebih tinggi dari kebun campuran dan kebun sawit, hal ini karena
tanaman karet setiap 6 bulan sekali menggugurkan daunnya yang dapat menjadi
sumbangan bahan organik pada tanah.
B.
Analisis Al dd dan H dd
Konstansta 40 berasal dari = (100
ml/ 25 ml) x (100 g / 10 g)
me H dd / 100 gram = ( mL NaOH x N
NaOH) – ( ml HCl x N HCL) x 40
= ( 2 x 0,1 ) - ( 1,5 x 0,1 ) x 40
= ( 0,2- 0,15
) x 40
= 0,05 x 40 = 2
me Al dd / 100 gram = ml HCl x N
HCl x 40
= 1,5 ml x 0,1 N x 40
=
6
Jadi Kandungan Al pada tanah Pedsolik Merah Kuning cukup tinggi. Dengan
Kemasaman dan kejenuhan Al tersebut dapat dinetralisir dengan cara pengapuran.
Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari sangat masam atau
masam ke pH agak netral atau netral, serta menurunkan kadar Al. Dari hasil
pratikum ini untuk melakukan pengapuran membutuhkan kapur sebanyak 9 ton kapur/
Ha.
C.
Analisis C-Organik
Perhitungan
: % C-organik = (mg C kurva atau
konstanta mg C/mg contoh) x 100%
Persentase bahan organik = 1,72 x
C=organik
A = 0,0014
B = 0,008
Konstanta
(mg C) = (Abs Y- A)/B
= (0,118 – 0,0014)/0,008 = 14,58
%
C-organik = (14,58/208) x 100% = 7,01
% bahan organik = 1,72 x 7,01 = 12,05
D.
Penetapan Kadar Air
Berat kering = (berat breaker +
berat tanah) - berat kering
= (34,8947 + 5,0228) – 39,5175
= 39,9175 –
39, 5175 = 0,4 gram
% kadar air =
(berat basah tanah – berat kering) x 100 / berat kering
= 5,0228 – 0,4 x 100 / 0,4
= 1155,70 %
Besarnya
kandungan air di tanah Pedsolik Merah Kuning membuat tanah menjadi padat
sehingga menghambat pertumbuhan akar tanaman. Untuk mengatasi masalah tersebut
dapat dilakukan dengan penamabahan bahan organik. Karena bahan organik dapat
meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan perkolasi serta membuat
struktur tanah manjadi remah, dan mudah diolah. Salah satunya dengan penanaman
Mucuna sp, pemberian kotoran sapi, jerami dan sebagainya.
E.
Analisis N- Total
Perhitungan : % N =
Dimana : T1 = ml H2SO4 0,05
N yang terpakai untuk titrasi blanko
T2 = ml H2SO4
0,05 N yang terpakai untuk titrasi sampel
N = Normalitas H2SO4
Fk protein = 6,25
% N =
= 0,10 %
% protein = % N x fk protein
= 0,10 x 6,25 = 0,625
Jadi, kandungan N pada tanah Pedsolik Merah Kuning adalah 0, 625
F.
Analisis Fosfor Tersedia
A
= 0,002
B
= 0,013
X
ppm =
Abs Y – A / B
X
ppm = 6,2–0,002/ 0,013 = 473,5
Mg/kg fosfor = X ppm x ekstrak
ml / berat tanah
= 473,5 x 20 / 1,0973 = 8630,07
%
fosfor = Mg/kg fosfor x 10.000
= 8630,07 x 10.000
= 0,863
|
V.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil pratikum dapat diambil kesimpulan bahwa
tanah Pedsoli Merah Kuning memiliki pH yang masam 4,72. Sehingga tidak semua
tanaman dapat tumbuh dengan baik di tanah ini. Begitu juga kandugan bahan
organik yang rendah, kadar air yang tinggi sehingga mudah terjadi pemadatan,
kandungan fospat rendah, kejenuhan Al yang cukup tinggi. Sehingga banyak
terjadi kendala untuk menggunakan tanah ini sebagai media budi daya tanaman apa
lagi untuk tanaman hortikultura. Penggelolaan tanah PMK sehingga dapat di
manfaatkan dapat dilakukan beberapa tindakkan seperti : Pengapuran, Pemupukan
Fospor dan kalium, dan juga dengan pemberihan bahan organik.
Untuk tanaman yang bisa tumbuh dan berkembang di
tanah PMK juga tertntu namun tanah PMK labih baik di tanam dengan tanaman
semusim. karena banyak menyumbang bahan organik dalam tanah
karena sirkulasi panen tanaman semusim cepat sehingga sisa serasah tanaman
dapat dikembalikan cepat ke dalam tanah.
B.
Kritik dan Saran
Dalam Memberikan
penjelasan dalam pratikum mohon lebih diperjelas lagi agar mudah dipahami. Untuk saran, waktu dalam
praktikum lebih diperhitungkan lagi sehingga berjalannya praktikum dapat dilakukan
dengan baik.
|
Alkusuma
and R.B. Badayos. 2003. The mineralogical characteristics of volcanic soils
from North Lampung, Sumatra,Indonesia, Jurnal Tanah dan Iklim 21: 56−68.
Alkusuma. 2000. Morphology, Characteristics and
Genesis of Soils on Mount Hulu Sabuk Volcano, Tanjung Raja, Lampung, Indonesia.
MSc Thesis, University of the Philippines, Los Banos.
Allen,
B.L. and B.F. Hajek. 1989. Mineral occurence in soil environment. p. 199−278. InJ.B.
Dixon and S.B. Weed (Eds.). Mineral in Soil Environments. 2nd ed. Soil Sci.
Soc. Am.Madison, Wisconsin, USA.
Amien,
L.I., C.L.I., Evensen, and R.S. Yost. 1990. Performance of some improved peanut
cultivars on an acid soil of West Sumatra. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk
9: 1−7.
Barus,
A., S. Sukmana, dan U. Kurnia. 1986. Pengaruh pola tanam tumpang gilir dan berurutan
terhadap erosi dan aliran permukaan pada tanah Podsolik Merah Kuning di
Baturaja, Sumatera Selatan. hlm. 239−256. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N.
Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S.Sukmana, J. Prawirasumantri
(Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung 10−13 November
1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Briendly,
G.W., C.C. Kao, J.L. Harison, M. Lipsicas, and R. Raythath. 1986. Relation between
structural disorder and other characteristics of kaolinite and dickites. Clays
and Clay Minerals 34: 239−249.
Erfandi,
D., I. Juarsah, dan U. Kurnia. 2001. Perbaikan sifat fisik tanah Ultisol Jambi,
melalui pengelolaan bahan organik dan guludan. hlm. 171−180. Dalam A. Sofyan,
G. Irianto, F. Agus, Irawan, W.J. Suryanto, T. Prihatini, M. Anda (Ed.).
Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim,
dan Pupuk, Cipayung, 31 Oktober−2 November 2000. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Eswaran,
H. and C. Sys. 1970. An evaluation of the free iron in tropical andesitic soil.
Pedologie 20: 62−65.
Hafif,
B., D. Santoso, J. Sri Adiningsih, dan H. Suwardjo. 1993. Evaluasi penggunaan beberapa
cara pengelolaan tanah untuk reklamasi dan konservasi lahan terdegradasi. Pemberitaan
Penelitian Tanah dan Pupuk 11: 7−12.
Hakim,
L. dan M. Sediyarsa. 1986. Percobaan perbandingan beberapa sumber pupuk fosfat alam
di daerah Lampung Utara. hlm. 179−194. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta,
I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.).
Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung, 10−13 November 1981.
Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Irianto,
G., A. Adimihardja, dan I. Juarsah. 1993. Rehabilitasi tanah Tropudults
tererosi dengan sistem pertanaman lorong menggunakan tanaman pagar Flemingia
congesta. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 11: 13−18.
B.H.
Prasetyo dan D.A. Suriadikarta, Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi
Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di
Indonesia, Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006.
Baldwil, M.,
C. E. Kellog, and J. Thorp, 1938 Soil Classifications. In Soil and Men,
Yearbook of Agriculture pp.979 -1001. USDA . US Govt. Printing Office,
Washington.
Dudal, R.
and M. Soepraptohardjo. 1957. Soil Classification in Indonesia. Cont. Gen. Agr.
Res. Sta. No.148, Bogor
Dudal,R dan
Soepraptohardjo.1957. Soil
Classification in Indonesia.Archipel:Balai Besar Penyelidikan,Pertanian,Balai
Besar Penyelidikan Bogor
FAO/UNESCO. 1974. Soil map of the
world. Vol. 1. Legend. UNESCO. Paris.
Isa,
A., F.S. Zauyah, dan G. Stoops. 2004. Karakteristik mikromorfologi tanah-tanah
volkanik di daerah Banten. Jurnal Tanah dan Iklim 22: 1−14.
Prasetyo,
B.H., H. Sosiawan, and S. Ritung. 2000.Soil of Pametikarata, East Sumba: Its suitability
and constraints for food crop development. Indon. J. Agric. Sci. 1(1):1−9.
Prasetyo,
B.H., D. Subardja, dan B. Kaslan. 2005.Ultisols dari bahan volkan and esitic di
lereng bawah G. Ungaran. Jurnal Tanah dan Iklim23: 1−12.
Rachim,
D.A., Astiana, R. Sutanto, N. Suharta,A. Hidayat, D. Subardja, dan M
Arifin.1997. Tanah merah terlapuk lanjut sertapengelolaannya di Indonesia. hlm.
97−116.Dalam H. Subagyo, S. Sabiham, R. Shofiyati,A.B. Siswanto, F.
Agus, Irawan, A. Rachman,Ropiq (Ed.). Prosiding KongresNasional VI HITI.
Jakarta, 12−15 Desember1995
Sri
Adiningsih, J. dan T. Prihatini. 1986. Pengaruh pengapuran dan inokulan
terhadap produksi dan pembintilan tanaman kedelai pada tanah Podsolik di
Sitiung II, Sumatera Barat. hlm. l39−150. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N.
Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri
(Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung 10−13 November 1981.
Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Schwertmann,
U. and R.M. Taylor. 1989. Iron oxides. p. 379−438. In J.B. Dixon and
S.B.Weed (Eds.). Mineral in Soil Environments.2nd ed. Soil Sci. Soc. Am.
Madison, Wisconsin,USA.
Soepraptohardjo.1961.Tanah Merah
DiIndonesia. Contributions of
the General Agricultural Research Station. Balai Besar
Penyelidikan,Pertanian,Balai Besar Penyelidikan Bogor
Soil Survey Staff. 2003. Keys
to Soil Taxonomy.UDA, Natural Research ConservationService. Ninth Edition.
Washington D.C.
Soekardi, M., M.W. Retno, dan Hikmatullah.1993. Inventarisasi
dan karakterisasi lahan alang-alang. hlm. 1−18. Dalam S. Sukmana,Suwardjo,
J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H.Suhardjo, Y. Prawirasumantri.
(Ed.).Pemanfaatan Lahan Alang- alang untuk Usaha Tani Berkelanjutan. Prosiding
Seminar Lahan Alang-alang, Bogor, Desember 1992.Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat.Badan Litbang Pertanian.
Subagyo,
H., P. Sudewo, dan B.H. Prasetyo. 1986.Pedogenesis beberapa profil Mediteran Merah
dari batu kapur di sekitar Tuban, Jawa Timur. hlm. 103−122. Dalam U.
Kurnia, J.Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S. Sukmana, J.
Prawirasumantri(Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung,
10−13 November.1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Van
Der Voort,M.1950.The Lateritic Soil Of Indonesia.Contribution Of The General
Agriculural Research Station,Bogor,No.102
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal
Pratikum Dasar – Dasar Ilmu Tanah kelas B
kelompok 3 2014/2015
No
|
Hari,
Tgl/Bln/Tahun
|
Kegiatan
Praktikum
|
1
|
Rabu, 23 Oktober 2014
|
-
Analisi pH
tanah
-
Analisis
Al-dd dan H-dd,
-
Analisis
C-Organik
|
2
|
Sabtu, 27 Oktober 2014
|
-
Uji
analisis kadar air tanah,
-
Analisis N
total,
-
Analisis
fosfor tersedia,
|
Lampiran 2. Dokumentasi Pratikum
Dasar – Dasar Ilmu Tanah kelas E
kelompok 3
Gambar
1. Erlemeyer
|
Gambar 2. Pipet ukur
|
Gambar 3. Desikator Gambar . Timbangan analitik
Bahan-bahan yang
digunakan
Pelaksanaan
pratikum
Pengadukan tanah
Lampiran 3. Biodata Diri
Nama
: Nordiyana
Kelas : E
Kelompok : 3
Jurusan : Agribisnis
Tempat/tanggal lahir : Lubuk Garam14
Juni 1995
SD Negeri 012 Lubuk Garam
SMP Negeri 3 Siak Kecil
SMK Negeri 1 Siak Kecil 2013
Alamat asal dari Desa Lubuk Garam
Kecamatan Siak Kecil Kabupaten Bengkalis.
Sekarang melanjutkan perguruan tinggi
di Universitas Islam Riau Pekanbaru dengan jurusan Agribisnis di Fakultas
Pertanian..