Senin, 09 Maret 2015

Pratiukum Dasar-Dasar Ilmu Tanah (tanah Pedsolik Merah Kuning)


      

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Ultisol/PMK dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol/PMK dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol/PMK sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah Ultisol/PMK mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah.
Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik.

B.  Tujuan
Tujuan praktikum dasar-dasar ilmu tanah adalah :
1.    Untuk mengetahui pH pada tanah pedsolik merah kuning (PMK)
2.    Untuk mengetahui ada tidaknya kandungan Al dd dan H dd pada tanah pedsolik merah kuning(PMK)
3.    Untuk mengetahui persentase C organik pada tanah pedsolik merah kuning (PMK) .
4.    Untuk mengetahui persentase kadar air dalam tanah pedsolik merah kuning (PMK).
5.    Untuk mengetahui persentase kandungan nitrogen (N) dalam tanah pedsolik merah kuning (PMK).
6.    Untuk mengetahui kandungan fosfor (P2O5) pada tanah pedsolik merah kuning (PMK).





















                                                                                                                                    II.         

TINJAUAN PUSTAKA
Nama podsolik merah kuning yang menjadi sangat terkenal di Indonesia diperkenalkan untuk pertama kali dalam pustaka ilmu tanah Indonesia oleh Dudal dan Soepraptohardjo (1957). Nama ini digunakan dalam sistem klasifikasi tanah susunan Baldwindkk., (1938).
Sebelum nama podsolik merah kuning masuk ke Indonesia, tanah ini termasuk dalam golongan tanah lateritik. Van der Voort (1950) lebih suka menyebutnya tanah laterik terdegradasi, yang menunjukkan persepsinya bahwa tanah itu telah mengalami kerusakan berat. Dames (1955) memakai nama tanah laterik terdegradasi, yang juga mencerminkan suatu pendapat bahwa tanah tersebut telah mengalami proses pemunduran kesuburan.
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo et al. 1986; Suharta dan Prasetyo 1986; Rachim et al. 1997; Suhardjo dan Prasetyo 1998; Alkusuma 2000; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).
Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys 1970; Allen dan Hajek 1989; Schwertmann dan Taylor 1989).
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan Prasetyo 1986), sedangkan tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja 1986; Subagyo et al. 1987; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).
Ultisol umumnya mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang halus. Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang disyaratkan dalam Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 2003).
Horizon tanah dengan peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et al. 1993).
Horizon tanah dengan peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik.Horizon tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et al. 1993).
Konsepsi pokok dari Ultisol (ultimus, terakhir) adalah tanah-tanah berwarna merah kuning, yang sudah mengalami proses hancuran iklim lanjut sehingga merupakan tanah yang berpenampang dalam sampai sangat dalam (> 2 m), menunjukkan adanya kenaikan kandungan liat dengan bertambahnya kedalaman yaitu terbentuknya horizon bawah akumulasi liat (Musa, dkk, 2006).
Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam,kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik.Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi,kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993).

 Tanah Ultisol mempunyai horizon argilik, dengan reaksi agak masam sampai masam dengan kandungan basa-basa rendah yang diukur dengan kejenuhan basa pH 7 < 50 % pada kedalaman 125 cm dibawah atas horizon argilik/kandik atau 180 cm dari permukaan tanah (USDA, 2006).
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo et al. 1986; Suharta dan Prasetyo 1986; Rachim et al. 1997;Suhardjo dan Prasetyo 1998; Alkusuma2000; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).
Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys1970; Allen dan Hajek 1989; Schwertmann dan Taylor 1989).
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan Prasetyo 1986), sedangkan tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja 1986; Subagyo et al. 1987; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Ultisol umumnya mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang halus.
Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah Ultisol menurut Soil Taxonomy. Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation < 16 cmol/kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik. Reaksi tanah Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali tanah Ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi (Prasetyo et al. 2000; Prasetyo et al. 2005)
Ultisol dari bahan sedimen mempunyai kesuburan alami yang lebih rendah daripada Ultisol dari bahan volkan atau batu kapur, karena bahan sedimen sudah merupakan hasil perombakan bahan lain sehingga kandungan unsur haranya pun rendah. Ultisol dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang berkembang dari batuan sedimen batu pasir dan batu liat mempunyai nilai kapasitas tukar kation tanah 3−18 cmol(+)/kg, kejenuhan basa 3−9%, kejenuhan Al 33−95%, dan pH 3,70−5 (Prasetyo dan Suharta 2000; Yatno et al.2000;Prasetyo et al. 2001). Sementara itu tanah Ultisol dari bahan volkan mempunyai nilai kapasitas tukar kation 13,80− 25,49 cmol(+)/kg tanah, kejenuhan basa 4−35%, kandungan Al 0−16%, dan pH tanah 4,60−5,70 (Subagyo et al. 1987; Prasetyoet al. 2005).
Susunan mineral primer yang dominan pada Ultisol dengan bahan induk yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Kuarsa yang dominan terdapat pada Ultisol yang terbentuk dari tufa berkapur dan dari batuan granit (Pedon 3, Typic Haplohumults dan Pedon 1, Typic Kandiudults). Pada Ultisol yang berkembang dari batuan tufa masam ( Pedon 2, Typic Paleudults), kuarsa dan opak mendominasi susunan mineral pasir, sedangkan pada Ultisol dari bahan volkan intermedier (Pedon 4, Typic Paleudults), opak merupakan mineral yang dominan pada fraksi pasir. Yatno et al. (2000) menyatakan Ultisol dari batuan liat dan pasir didominasi oleh mineral kuarsa. mineral mudah lapuk (weatherable mineral) seperti ort oklas, biotit, epidot, gelas volkan olivin, sanidin amfibol, augit, dan hiperstin pada tanah Ultisol umumnya rendah bahkan sering tidak ada (Subardja 1986; Suharta dan Prasetyo 1986; Prasetyo et al. 1998; Prasetyo et al. 2005).

Dengan demikian Ultisol tergolong tanah yang miskin akan unsur hara. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan induk tanah Ultisol menentukan komposisi mineralnya. Pada tanah yang berbahan induk batuan masam, mineral primer didominasi oleh kuarsa, sedangkan pada tanah dari bahan volkan didominasi oleh opak. Tufa masam merupakan jenis batuan sedimen masam dari bahan volkan sehingga komposisi mineral primernya didominasi oleh campuran opak dan kuarsa.

Komposisi mineral liat Ultisol didominasi oleh kaolinit (Suharta dan Prasetyo 1986; Setyawan 1997; Prasetyo et al. 2001; Alkusuma dan Badayos 2003; Prasetyo et al. 2005). Mineral liat lainnya adalah vermikulit dengan puncak difraksi 14,2A dan gibsit dengan puncak difraksi 4,83A. Puncak difraksi 11A pada perlakuan pemanasan K+ hingga 550°C menunjukkan adanya interlayer hidroksi Al. Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basa-basa yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik. Kondisi tersebut sangat menunjang untuk pembentukan mineral kaolinit.
Namun, dominasi kaolinit tersebut tidak mempunyai kontribusi yang nyata pada sifat kimia tanah, karena kapasitas tukar kation kaolinit sangat rendah, berkisar 1,20−12,50 cmol/kg liat (Briendly et al. 1986; Prasetyo dan Gilkes 1997). Mineral liat lainnya yang sering dijumpai adalah haloisit dan gibsit (Subagyo et al. 1986). Adanya mineral smektit pada tanah Ultisol pernah dilaporkan oleh Subagyo et al. (1986) pada Ultisol dari batuan gamping di daerah Tuban, Jawa Timur dan oleh Prasetyo et al. (2000) pada Ultisol dari bahan tufa berkapur di daerah Pametikarata, Sumba Timur. Smektit merupakan jenis mineral 2:1 yang kehadirannya dalam tanah akan sangat menentukan sifat fisik dan kimia tanah. Pembentukan mineral ini memerlukan lingkungan dengan pH netral dan terjadi akumulasi basa-basa dan silika. Pada kedua jenis tanah Ultisol tersebut, smektit berasal dari bahan induk tanah (inherited) yang terbentuk melalui proses geologi (geogenic), bukan melalui proses pembentukan tanah (pedogenic). Smektit pada Ultisol umumnya sedang dalam proses pelapukan, yang dicirikan oleh tingginya Al dapat ditukar dan nilai kapasitas tukar kation yang rendah.
Untuk mengatasi kendala kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi dapat dilakukan pengapuran. Reaksi tanah masam dengan kejenuhan Al tinggi sudah menjadi merek dari tanah ini. Kemasaman tanah berhubungan erat dengan kejenuhan Al, seperti yang dilaporkan oleh Abruna et al. (1975), % kejenuhan Al = 516,10−163,97 kemasaman tanah + 12,70 (kemasaman tanah)2 dengan r = 0,90.
Terdapat hubungan yang sangat nyata antara takaran kapur dengan Al dan kejenuhan Al (Sri Adiningsih dan Prihatini 1986). Pengapuran efektif mereduksi kemasaman (Wade et al. 1986), dan pemberian kapur setara dengan l x Aldd dapat menurunkan kejenuhan Al dari 87% menjadi < 20% (Sri Adiningsih dan Prihatini 1986). Pada tanaman kedelai, pemberian kapur hingga kedalaman 30 cm dapat memberikan hasil tertinggi, tetapi residu kapur tidak mempengaruhi tinggi tanaman jagung yang ditanam setelah kedelai, dan hanya berpengaruh pada bobot tongkol basah (Suriadikarta et al. 1987a; 1987b).
Pemberian kapur dapat mengatasi masalah kemasaman tanah dan juga menjamin tanaman dapat bertahan hidup dan berproduksi bila terjadi kekeringan (Amien et al. 1990). Takaran kapur didasarkan pada Aldd atau persentase kejenuhan Al, karena setiap jenis tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai toleransi yang berbeda terhadap kejenuhan Al. Makin besar persentase kejenuhan Al dalam tanah, makin banyak kapur yang harus diberikan ke dalam tanah untuk mencapai pH agak netral sampai netral. Pengapuran tampaknya dapat mengatasi masalah kejenuhan Al dan kemasaman pada tanah Ultisol. Namun di beberapa daerah seperti di Kalimantan dan Sumatera, ketersediaan kapur relatif terbatas, dan bila tersedia harganya belum tentu terjangkau oleh petani. Pengapuran sebaiknya hanya dilakukan bila pH tanah di bawah 5 karena pada pH di atas 5,50, respons Al rendah karena sudah mengendap menjadi Al (OH)3
Ultisol pada umumnya memberikan respons yang baik terhadap pemupukan fosfat. Penggunaan pupuk P dari TSP lebih efisien dibanding P alam (Hakim dan Sediyarsa 1986), namun pengaruh takaran P terhadap hasil tidak nyata. Pemberian P 200−250 ppm P2O5 pada tanah Ultisol dari Lampung dan Banten dapat menghasilkan bahan kering 3−4 kali lebih tinggi dari perlakuan tanpa fosfat (Sediyarsa et al.44 Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006 1986).
Di samping itu pengaruh residu pemupukan P masih terlihat walaupun hasil tanaman lebih rendah dari pertanaman sebelumnya (Sugiyono et al. 1986). Respons tanaman jagung terhadap pemupukan P dan N pada tanah Typic Paleudults sangat tinggi karena status kesuburan Typic Paleudults sangat rendah. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa takaran pupuk P dan N untuk pertanaman jagung kedua lebih kecil dari pertanaman pertama (Soepartini dan Sholeh 1986).
Residu pupuk P pada tanah Ultisol memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai (Suriadikarta dan Widjaja-Adhi 1986), bahkan residu P sebesar 3 x 60 kg P/ha dapat menaikkan ketersediaan P dalam tanah dari 3,30 menjadi 10,10 ppm P2O5. Pupuk K dalam bentuk KCl diberikan dengan takaran 100−130 kg KCl/ha.
Tanah Ultisol umumnya peka terhadap erosi serta mempunyai pori aerasi dan indeks stabilitas rendah sehingga tanah mudah menjadi padat. Akibatnya pertumbuhan akar tanaman terhambat karena daya tembus akar ke dalam tanah menjadi berkurang.
Bahan organik selain dapat meningkatkan kesuburan tanah juga mempunyai peran penting dalam memperbaiki sifat fisik tanah. Bahan organik dapat meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan perkolasi, serta membuat struktur tanah menjadi lebih remah dan mudah diolah. Bahan organik tanah melalui fraksi-fraksinya mempunyai pengaruh nyata terhadap pergerakan dan pencucian hara. Asam fulvat berkorelasi positif dan nyata dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci, sedangkan asam humat berkorelasi negatif dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci (Subowo et al. 1990).
Pengelolaan bahan organik dengan penanaman Mucuna sp. selama 3 bulan dan pengembalian serasah + pupuk kandang 10 t/ha pada guludan dapat meningkatkan pori tanah, dan pori air tersedia, serta menurunkan kepadatan tanah (Erfandi et al. 2001). Pada Ultisol dari Sitiung, pemberian bahan organik berupa kotoran sapi, jerami, dan Flemingia congesta dapat meningkatkan kandungan bahan organik dan kapasitas tukar kation serta menghalangi serapan P dan Mg dalam tanah (Nursyamsi et al. 1997).
Pengelolaan tanah dan bahan organik berupa sisa tanaman jagung, F. congesta, dan Mucuna sp. sebagai mulsa sangat efektif mencegah erosi serta mengurangi konsentrasi sedimen dan aliran permukaan (Kurnia et al. 2000). Pemberian berbagai jenis dan takaran pupuk kandang (sapi, ayam, dan kambing) dapat memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu menurunkan bobot isi serta meningkatkan porositas tanah dan laju permeabilitas (Adimihardja et al.2000).
Penambahan bahan organik dari pupuk kandang maupun sisa-sisa tanaman atau hasil penanaman seperti Mucuna sp. dan F. congesta dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti pori air tersedia, indeks stabilitas agregat, dan kepadatan tanah. Pemberian bahan organik baik dari sisasisa tanaman maupun yang sengaja ditanam tidak menimbulkan masalah bagi petani, tetapi pemberian pupuk kandang dengan takaran hingga 10 t/ha akan sangat sulit diterapkan oleh petani. Penyediaan bahan organik dapat pula diusahakan melalui pertanaman lorong (alley cropping). Selain pangkasan tanaman dapat menjadi sumber bahan organik tanah, cara ini juga dapat mengendalikan erosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanaman Flemingia sp. dapat meningkatkan pH tanah dan kapasitas tukar kation serta menurunkan kejenuhan Al (Hafif et al. 1993; Irianto et al. 1993; Suhardjo et al. 1997).
Sifat-sifat penting pada tanah Ultisol berkaitan dengan jumlah fosfor dan mineral-mineral resisten dalam bahan induk, komponen-komponen ini umumya terdapat dalam jumlah yang tidak seimbang, walupun tidak terdapat beberapa pengecualian. Ultisol yang berkembang pada bahan induk dengan kandungan fosfor yang lebih tinggi. Translokasi/pengangkutan liat yang ekstensif berlangsung meninggalkan residu yang cukup untuk membentuk horizon-horison permukaan bertekstur kasar atau sedang (Lopulisa, 2004).
Selain bahan organic melalui proses dekomposisi dapat menyediakan nutrisi tanaman. Dekomposisi bahan organic oleh berbagai mikroorganisme tanah berlangsung lamban akan tetapi terus berlangsung secara beransur-ansur, keadaan demikian  menyebabkan terbebasnya fosfor dan elemen-elemen lainnya yang esensial bagi pertumbuhan tanaman (Munir, 1996).
Cara konvensional dengan system tebang bebas dan bakar ternyata menyebabkan pH tanah basa-basa dapat tukar dan fosfor tersedia dalam tanah akan meningkat pada awalnya, tetapi setelah 1,5 tahun kemudian akan mengalami penurunan, sehingga ditanami dua atau tida tahun produktivitasnya akan menurun secara tajam (Soepardi, 1979).
Ultisol merupakan tanah yang telah mengalami proses pelapukan lanjut melalui proses Luxiviasi dan Podsolisasi. Ditandai oleh kejenuhan basa rendah (kurang dari 35% pada kedalaman 1,8 m), Kapasitas Tukat Kation kurang dari 24 me per 100 gram liat, bahan organic rendah sampai sedang, nutrisi rendah dan pH rendah (kurang dari 5,5) (Munir, 1996).
Tingkat pelapukan dan pembentukan Ultisol berjalan lebih cepat, daerah-daerah yang beriklim humid dengan suhu tinggi dan curah hujan tinggi menyebabkan Ultisol mempunyai kejenuhan basa-basa rendah. Selain itu Ultisol juga mempunyai kemasaman tanah, kejenuhan Aldd tinggi, Kapasitas Tukar Kation rendah (kurang dari 24 me per 100 gram tanah), kandungan nitrogen rendah, kandungan fosfat dan kalium tanah rendah serta sangat peka terhadap erosi(Soepraptoharjo, 1979).
Pengaruh pemupukan lebih lanjut pada tanah Podsolik merah kuning untuk menambah jumlah dan tingkat ketersediaan unsure hara makro, karena telah diketahui bahwa Ultisol miskin akan basa-basa (yang ditandai dengan kejenuhan basa kurang dari 35%) dan KTK rendah (kurang dari 24 me per 100 gram liat) (Munir, 1996).
KTK dan jumlah kemasaman terukur pada Ultisol sanagt tergantung pada pH larutan yang digunakan dalam penetapan, misalnya nilai terbesar dari KTK dan kemasaman umumnya diperoleh bila penetapan dilakukan pH 8,2 sedang pada pH 7,0 dan terendah bila ditetapkan pada pH tanah. Sumber utama KTK bergantung pH dan kemasaman mencakup hidrolisis senyawa-senyawa Al hidroksi antar lapisan (Soepardi, 1979).
Penerapan pola tanam tumpang gilir di produksi dengan pemberian mulsa setiap panen pada tanah Ultisol dapat menekan erosi pada lereng 15% hingga di bawah nilai erosi yang dapat diabaikan (Barus et al. 1986). Pada lereng sekitar 4%, penggunaan untuk mencegah erosi cukup baik asalkan diikuti pengelolaan tanah yang baik pula (Suwardjo et al. 1987).
















                                                                                                                                III.         

BAHAN DAN METODE
A.  Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau, Jalan Kaharuddin Nasution KM 11  No. 113 Marpoyan Kelurahan Simpang Tiga, Kecamatan Bukit Raya, Pekanbaru. Praktikum ini dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan, mulai hari Kamis 23 Oktober dan Senin, 27 Oktober 2014 (lampiran I).

B.  Bahan dan Alat
Bahan yang akan digunakan dalam praktikum ini adalah Aqudes, larutan 1 N KCL, NaOH 0,1 N,HCL 0,1 N, tanah sampel,NaF 4%, , Ba , asam sulfat, katalis campuran (CuS , , selen bubuk), asam borak 1% ( ), NaH , pereaksi P (ammonium molybdate) , K(SbO) , ,
Alat yang digunakan adalah pipet tetes, pipet ukur, timbangan analitik,erlemeyer, mesin kocok, kertas saringan, alat untuk mengerus,gelas breaker, oven, pinset, gelas piala.











C.  Pelaksanaan Praktikum
Pembuatan Regen Danprosedur Kerja
1.    Penetapan pH tanah
a.    Alat-alat
-          pH meter
-          gelas piala 250 ml
-          mesin kocok
b.    Bahan-bahan
-          Air suling (Aquades) 50 ml – 100 ml
-          Tanah 50 gram
c.    Prosedur kerja 
-          Masukkan 50 gram tanah ke dalam gelas piala dan tambahkan 50 ml air suling (pH H2O 1:1)
-          Kocok selama 15 menit dengan mesin pengocok, kemudian diamkan sebentar
-          Ukur dengan pH meter
-          Catat hasil pengamatan.

2.    ANALISIS Al dd dan H dd
Penetapan Al dan H dapat ditukarkan (Al dd dan H dd)
a.    Pembuatan regen
-          Larutan 1 N KCL (74,5 gram KCl dalam 1 liter Aquades)
-          NaOH 0,1 N
-          HCl 0,1 N
-          NaF 4 % (4 gram NaF larutkan ke dalam 100 ml Aquades)  
b.    Alat-alat

-          Erlemeyer 250 ml
-          mesin kocok
-          kertas saring
-          pipet ukur
-          pipet tetes
-          alat untuk menggerus

c.    Bahan-bahan

-          KCL
-          HCl
-          NaOH
-          NaF 4%

d.   Prosedur kerja
-          Gerus / di haluskan tanah jika masih kasar
-          Timbang sampel 10 gram tanah masukkan ke dalam erlemeyer 250 ml
-          Tambah 100 ml 1 N KCL, kocok selama 15 menit
-          Saring dengan kertas saring whatman 42 (jika larutan tersebut keruh tetapi jika tidak maka larutan tersebut cukup di endapkan
-          Pipet hasil saringan/endapan 25 ml masukkan ke dalam erlemeyer
-          Tambah 5 tetes indikator  pp (menggunakan pipet tetes)
-          Titer dengan 0,1 N NaOH sampai berubah warna (missal merah muda) catat jumlah NaOH yang terpakai
-          Tambah 0,1 ml HCl 0,1 N sehingga warna merah muda hilang
-          Tambahkan 10 ml NaF 4% warna merah muda akan timbul kembali bila tanah tersebut mengandung Al
-          Titer dengan HCl 0,1 N sampai warna merah hilang kembali (catat jumlah HCl yang terpakai).
Perhitungan :
me H-dd/100 g                        = (ml NaOH x N NaOH) – (ml HCl x N HCl) x 40
me Al-dd/100 g                       = ml HCl x N HCl x 40
konstanta 40 berasal dari        = (100 ml / 25 ml) x (100 g / 10 g)

3.    ANALISIS C-organik
Karbon sebagai senyawa organik akan mereduksi  menjadi  dalam suasana asam, intensitas warna yang terbentuk setara dengan kadar karbon dan dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 645 nm.
a.    Pembuatan regen
-          Larutan 1 N  (49,04 gram  dilarutkan dengan 1L Aquades)
-          Asam sulfat pekat (96%)
-          Larutan 0,5 Ba  (5 gram Ba dilarutkan dengan 1 L Aquades )
b.    Alat – alat
-          Erlemeyer 250 ml
-         

Mesin kocok
-          Timbangan analitik
-          Pipet ukur
-          Pipet tetes
-          Alat ukur untuk mengerus
c.    Bahan – bahan
-         
-          Ba
-          Asam sulfat
d.   Prosedur kerja
-            Gerus tanah/sampel jika kasar kemudian timbangkan 0,2 g tanah
-            Tambah 10 ml larutan 1 N
-            Tambahkan 5 ml asam sulfat Pekat, goncang hingga tercampur kemudian diamkan selama 30 menit
-            Tambahkan 50 ml larutan 0,5% Ba  sehingga sulfat mengendap menjadi Ba
-            Diamkan 1 malam hingga jernih
-            Lakukan juga untuk larutan standar dan blanko seperti pekerjaan pada sampel
-            Setelah jernih pindahkan larutan kedalam kuvet
-            Kemudian ukur absorpasi pada panjang gelombang 645 nm
-            Catat absorban sampel dan standar
Perhitungan :
%C                                                 = (mg C kurva/mg contoh) x 100%
Persentase bahan organik   = 1,72 x C-Organik
4.    Penetapan kadar air
a.    Alat – alat
-          Gelas Breaker
-          Oven
-          Pinset
-          Timbangan analitik
b.    Bahan – bahan
-            Sampel tanah
c.    Prosedur kerja
-          Keringkan selama 30 menit gelas breaker kedalam oven pada suhu 125 c
-          Setelah 30 menit masukkan kedalam desikator selama 45 menit dan timbang,( catat hasil timbangan)
-          Tamabahkan 5 gram tanah/sampel didalam gelas breaker
-          Masukkan kedalam oven pada suhu 105 C selama 1 jam, kemudian pindahkan kedalam desikator
-          Setelah 45 menit lalu ditimbang (catat hasil timbangan keringnya)
Perhitungan :
% kadar air tanah = {(berat basah – berat kering tanah) / berat kering tanah x 100 %
5.    ANALISIS N-total
Senyawa Nitrogen organik dapat dioksidasi dalam lingkungan asam sulfat pekat membentuk ( . Ammonium sulfat yang terbentuk disuling dengan penambahn NaOH. Selanjutnya  yang dibebaskan diikat oleh asam borak dan dapat dititer dengan  dengan menggunakan indikator Conway
a.    Pembuatan regen
-          Asam sulfat pekat
-          Katalis campuran/ campuran selen (1,55g Cu + 96,9g anhidrat dan + 1,55 g selen bubuk kemudian digerus )
-          Asam borak 1% (larutan 10 g dengan 1 liter Aquades)
-          NaOH 40% (400g NaOH dilarutkan kedalam 1 L Aquades)
-          Indikator campuran/penunjuk Conway (larutan 0,1g merah metil (methyred) dan 0,150 g hijau bromkresol (bromkresol green) kedalam 100 ml ethanol absolute )
-          Larutan baku asam sulfat 0,05 N
b.      Prosedur kerja
-          Timbang 0,5 g sampel tanah yang telah digerus, masukan ke dalam erlemeyer 250 ml
-          Tambahkan 0,5 g katalis campuran (setara dengan 1 spatula) dan tambahkan 3 ml asam sulfat pekat
-          Direduksi/ dipanaskan selama ± 1 jam pada suhu 200 ̊C (sampai keluar asap putih) setelah itu angkat dan dinginkan dalam ruang (Fume Hood ).
-          Lalu di encerkan dengan 25 ml aquades ditambah 20 ml NaOH 40% jadikan 100 ml larutan dengan penambahan aquades.
-          Hasil destruksi dipindahkan ke dalam labu didih lalu di destilasi.
-          Untuk penampung destilat disiapkan erlemeyer 100ml yang berisi 10 ml  1 % dan ditambah 7 tetes indikator campuran (akan berwarna hijau).
-          Destilasi dilakukan sampai diperoleh destilat sekitar 50-75 ml.
-          Destilat dititer dengan 0,05 N sampai berubah warna (catat jumlah  yang terpakai).
Perhitungan %N =
Dimana : T1 = ml 0,05 N yang terpakai untuk titrasi blanko
                T2 = ml 0,05 N yang terpakai untuk titrasi sampel
     N = normalitas

6.    ANALISIS Fosfor Tersedia
Fosfor dalam suasana netral/alkalin dalam tanah akan terikan sel pengekstrak  akan mendapatkan Ca, Mg-  sehingga kedalam larutan. Pengekstrak ini juga dapat digunakan untuk tanah asam. Tanah asam terikat berbagai Fe, Al fosfat. Penambahan pengekstrak menyebabkab Fe, Al-hidroksida, sehingga fosfat dibebaskan.
a.    Pembuatan regen
-          Pengekstrak 0,5 N, pH (olsen) dilarutkan 42,0 g dengan aquades encerkan menjadi 1 liter, pH larutan ditetapkan menjadi 8,5 dengan penambahan NaOH.
-          Pereaksi P pekat : dilarutkan 12 g ammonium molybdate, (  4 O dengan 100 ml aquades tambahkan 0,227g K(Sbo)  dan secara perlahan tambahkan 140 ml  pekat, jadikan 1 liter.
-          Pereakasi pewarna P : Campuran 1,06 asam absorbat dan 100 ml pereaksi P pekat, kemudian jadikan 1 liter (tambahkan 25 ml N sebelum di encerkan) 
-          Larutan induk P 500 ppm : dilarutkan 2,1954g (keringkan pada suhu 40 ) dengan aquades, encerkan menjadi 1 liter.
-          Larutan standar (0,5 ; 1,0 ; 2,0 ;4,0 ;8,0 )
b.    Prosedur kerja
-            Timbang 1 gram sampel tanah masukkan ke dalam erlemeyer. Ditambah 20 ml pengekstrak olsen kemudian dikocok selama 15 menit.
-            Disaring dengan kertas whatman 42 dan bila larutan keruh disaring kembali.
-            Ekstrak dipipet 10 ml kedalam labu ukur 50 ml.
-            Sampel dengan aquades 10 ml masukkan kedalam labu ukur 50 ml
-            Ditambah 10 ml pereaksi pewarna P untuk masing- masing sampel.
-            Kocok hingga homogen dan biarkan selama 10 menit.
-            Pipet sampel tanah 1 ml ke dalam 50 ml labu ukur, tambah aquades hingga 50 ml.
-            Kemudian masukkan sampel tanah dan sampel control kedalam kuvet masing-masing.
-            Absorbansi larutan diukur dengan spektofotometer pada panjang gelombang 660 nm.
-            Catatan hasil absorbansinya.
Perhitungan : konsentrasi fosfor dihitung dengan menggunakan regresi liner dari larutan standar.
Kadar P tersedia (ppm) = (konsentrasi x ml ekstrak)/ g sampel tanah.







D.  Pengamatan
Tanah PMK dari daerah pekanbaru
1.    pH                                                  = 4,72
2.    Berat sampel Al dd dan H dd        = 10,0828 gram
NaOH 0,1 N                                   =   2 ml
HCl 0,1 N                                       = 1,5 ml
3.    Berat sampel C-organik                  = 0,2084 gram
Blanko                                            = 0,116 Abs
Sampel                                            = 0,118 Abs
4.    Berat sampel Fosfor                       = 1,0973 gram
Blanko                                            = 0,117 Abs
Sampel                                            = 0,124 x 50 = 6,2 Abs
5.    Berat sampel N                               = 0,5023 gram
H2SO4                                             = 1,7 ml
6.    Berat breaker                                  = 34,8947 gram
Berat tanah basah                           = 5,0228 gram
Berat kering                                    = 39,5175 gram








                                                                                                                       IV.         

HASIL DAN PEMBAHASAN
A.  Analisis pH Tanah
Hasil pengamatan dari pengukuran pH tanah pada tanah Pedsolik Merah Kuning yang terdapat di kawasan stadion UR (Universitas Riau, Pekanbaru) yaitu 4,72 dengan pH tersebut tanaman yang dapat ditanami adalah Jenis tanaman semusim lebih bagus karena banyak menyumbang bahan organik dalam tanah karena sirkulasi panen tanaman semusim cepat sehingga sisa serasah tanaman dapat dikembalikan cepat ke dalam tanah. Kebun karet memiliki nilai bahan organik lebih tinggi dari kebun campuran dan kebun sawit, hal ini karena tanaman karet setiap 6 bulan sekali menggugurkan daunnya yang dapat menjadi sumbangan bahan organik pada tanah.
B.  Analisis Al dd dan H dd
Konstansta 40 berasal dari = (100 ml/ 25 ml) x (100 g / 10 g)
me H dd / 100 gram     = ( mL NaOH x N NaOH) – ( ml HCl x N HCL) x 40
                                = ( 2 x 0,1 ) - ( 1,5 x 0,1 ) x 40
                                     = ( 0,2- 0,15 ) x 40
                                     = 0,05 x 40 = 2
me Al dd / 100 gram   = ml HCl x N HCl x 40
= 1,5 ml x 0,1 N x 40
                                    = 6
Jadi Kandungan Al pada tanah Pedsolik Merah Kuning cukup tinggi. Dengan Kemasaman dan kejenuhan Al tersebut dapat dinetralisir dengan cara pengapuran. Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari sangat masam atau masam ke pH agak netral atau netral, serta menurunkan kadar Al. Dari hasil pratikum ini untuk melakukan pengapuran membutuhkan kapur sebanyak 9 ton kapur/ Ha.


C.  Analisis C-Organik
Perhitungan :   % C-organik = (mg C kurva atau konstanta mg C/mg contoh) x 100%
Persentase bahan organik = 1,72 x C=organik
A = 0,0014                                  
B = 0,008
Konstanta (mg C)       =  (Abs Y- A)/B
= (0,118 – 0,0014)/0,008 = 14,58
% C-organik = (14,58/208) x 100% = 7,01
% bahan organik = 1,72 x 7,01 = 12,05

D.  Penetapan Kadar Air
Berat kering = (berat breaker + berat tanah) - berat kering       
= (34,8947 + 5,0228) – 39,5175  
= 39,9175 – 39, 5175 = 0,4 gram
% kadar air      = (berat basah tanah – berat kering) x 100 / berat kering
                        =   5,0228 – 0,4 x 100 / 0,4
                        = 1155,70 %
Besarnya kandungan air di tanah Pedsolik Merah Kuning membuat tanah menjadi padat sehingga menghambat pertumbuhan akar tanaman. Untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan penamabahan bahan organik. Karena bahan organik dapat meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan perkolasi serta membuat struktur tanah manjadi remah, dan mudah diolah. Salah satunya dengan penanaman Mucuna sp, pemberian kotoran sapi, jerami dan sebagainya.
E.  Analisis N- Total
Perhitungan :   % N = 
Dimana :          T1 = ml H2SO4 0,05 N yang terpakai untuk titrasi blanko
                        T2 = ml H2SO4 0,05 N yang terpakai untuk titrasi sampel
                        N  = Normalitas H2SO4
             Fk protein =  6,25

% N                 =     = 0,10 %
% protein = % N x fk protein
                = 0,10 x 6,25 = 0,625
Jadi, kandungan N pada tanah Pedsolik Merah Kuning adalah 0, 625

F.   Analisis Fosfor Tersedia
A                     = 0,002
B                     = 0,013
X ppm             = Abs Y – A / B
X ppm             = 6,20,002/ 0,013 = 473,5

Mg/kg fosfor   = X ppm x ekstrak ml / berat tanah
= 473,5 x 20 / 1,0973 = 8630,07

% fosfor = Mg/kg fosfor x 10.000
               = 8630,07 x 10.000
               = 0,863

Rendahnya kandungan fospat di tanah PMK dapat diatasi dengan pemberian pupuk fospat seperti TSP.
                                                                                                                                                           V.          PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari hasil pratikum dapat diambil kesimpulan bahwa tanah Pedsoli Merah Kuning memiliki pH yang masam 4,72. Sehingga tidak semua tanaman dapat tumbuh dengan baik di tanah ini. Begitu juga kandugan bahan organik yang rendah, kadar air yang tinggi sehingga mudah terjadi pemadatan, kandungan fospat rendah, kejenuhan Al yang cukup tinggi. Sehingga banyak terjadi kendala untuk menggunakan tanah ini sebagai media budi daya tanaman apa lagi untuk tanaman hortikultura. Penggelolaan tanah PMK sehingga dapat di manfaatkan dapat dilakukan beberapa tindakkan seperti : Pengapuran, Pemupukan Fospor dan kalium, dan juga dengan pemberihan bahan organik.
Untuk tanaman yang bisa tumbuh dan berkembang di tanah PMK juga tertntu namun tanah PMK labih baik di tanam dengan tanaman semusim. karena banyak menyumbang bahan organik dalam tanah karena sirkulasi panen tanaman semusim cepat sehingga sisa serasah tanaman dapat dikembalikan cepat ke dalam tanah.
B.  Kritik dan Saran
Dalam Memberikan penjelasan dalam pratikum mohon lebih diperjelas lagi agar mudah dipahami. Untuk saran, waktu dalam praktikum lebih diperhitungkan lagi sehingga berjalannya praktikum dapat dilakukan dengan baik.




DAFTAR PUSTAKA
Alkusuma and R.B. Badayos. 2003. The mineralogical characteristics of volcanic soils from North Lampung, Sumatra,Indonesia, Jurnal Tanah dan Iklim 21: 56−68.

Alkusuma. 2000. Morphology, Characteristics and Genesis of Soils on Mount Hulu Sabuk Volcano, Tanjung Raja, Lampung, Indonesia. MSc Thesis, University of the Philippines, Los Banos.

Allen, B.L. and B.F. Hajek. 1989. Mineral occurence in soil environment. p. 199−278. InJ.B. Dixon and S.B. Weed (Eds.). Mineral in Soil Environments. 2nd ed. Soil Sci. Soc. Am.Madison, Wisconsin, USA.

Amien, L.I., C.L.I., Evensen, and R.S. Yost. 1990. Performance of some improved peanut cultivars on an acid soil of West Sumatra. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 9: 1−7.

Barus, A., S. Sukmana, dan U. Kurnia. 1986. Pengaruh pola tanam tumpang gilir dan berurutan terhadap erosi dan aliran permukaan pada tanah Podsolik Merah Kuning di Baturaja, Sumatera Selatan. hlm. 239−256. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S.Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung 10−13 November 1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.

Briendly, G.W., C.C. Kao, J.L. Harison, M. Lipsicas, and R. Raythath. 1986. Relation between structural disorder and other characteristics of kaolinite and dickites. Clays and Clay Minerals 34: 239−249.

Erfandi, D., I. Juarsah, dan U. Kurnia. 2001. Perbaikan sifat fisik tanah Ultisol Jambi, melalui pengelolaan bahan organik dan guludan. hlm. 171−180. Dalam A. Sofyan, G. Irianto, F. Agus, Irawan, W.J. Suryanto, T. Prihatini, M. Anda (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk, Cipayung, 31 Oktober−2 November 2000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Eswaran, H. and C. Sys. 1970. An evaluation of the free iron in tropical andesitic soil. Pedologie 20: 62−65.

Hafif, B., D. Santoso, J. Sri Adiningsih, dan H. Suwardjo. 1993. Evaluasi penggunaan beberapa cara pengelolaan tanah untuk reklamasi dan konservasi lahan terdegradasi. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 11: 7−12.

Hakim, L. dan M. Sediyarsa. 1986. Percobaan perbandingan beberapa sumber pupuk fosfat alam di daerah Lampung Utara. hlm. 179−194. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung, 10−13 November 1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.

Irianto, G., A. Adimihardja, dan I. Juarsah. 1993. Rehabilitasi tanah Tropudults tererosi dengan sistem pertanaman lorong menggunakan tanaman pagar Flemingia congesta. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 11: 13−18.

B.H. Prasetyo dan D.A. Suriadikarta, Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di Indonesia, Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006.

Baldwil, M., C. E. Kellog, and J. Thorp, 1938 Soil Classifications. In Soil and Men, Yearbook of Agriculture pp.979 -1001. USDA . US Govt. Printing Office, Washington.

Dudal, R. and M. Soepraptohardjo. 1957. Soil Classification in Indonesia. Cont. Gen. Agr. Res. Sta. No.148, Bogor

Dudal,R dan Soepraptohardjo.1957. Soil Classification in Indonesia.Archipel:Balai Besar Penyelidikan,Pertanian,Balai Besar Penyelidikan Bogor


FAO/UNESCO. 1974. Soil map of the world. Vol. 1. Legend. UNESCO. Paris.

Isa, A., F.S. Zauyah, dan G. Stoops. 2004. Karakteristik mikromorfologi tanah-tanah volkanik di daerah Banten. Jurnal Tanah dan Iklim 22: 1−14.

Prasetyo, B.H., H. Sosiawan, and S. Ritung. 2000.Soil of Pametikarata, East Sumba: Its suitability and constraints for food crop development. Indon. J. Agric. Sci. 1(1):1−9.

Prasetyo, B.H., D. Subardja, dan B. Kaslan. 2005.Ultisols dari bahan volkan and esitic di lereng bawah G. Ungaran. Jurnal Tanah dan Iklim23: 1−12.

Rachim, D.A., Astiana, R. Sutanto, N. Suharta,A. Hidayat, D. Subardja, dan M Arifin.1997. Tanah merah terlapuk lanjut sertapengelolaannya di Indonesia. hlm. 97−116.Dalam H. Subagyo, S. Sabiham, R. Shofiyati,A.B. Siswanto, F. Agus, Irawan, A. Rachman,Ropiq (Ed.). Prosiding KongresNasional VI HITI. Jakarta, 12−15 Desember1995

Sri Adiningsih, J. dan T. Prihatini. 1986. Pengaruh pengapuran dan inokulan terhadap produksi dan pembintilan tanaman kedelai pada tanah Podsolik di Sitiung II, Sumatera Barat. hlm. l39−150. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung 10−13 November 1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.


Schwertmann, U. and R.M. Taylor. 1989. Iron oxides. p. 379−438. In J.B. Dixon and S.B.Weed (Eds.). Mineral in Soil Environments.2nd ed. Soil Sci. Soc. Am. Madison, Wisconsin,USA.

Soepraptohardjo.1961.Tanah Merah DiIndonesia. Contributions of the General Agricultural Research Station. Balai Besar Penyelidikan,Pertanian,Balai Besar Penyelidikan Bogor

Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy.UDA, Natural Research ConservationService. Ninth Edition. Washington D.C.

Soekardi, M., M.W. Retno, dan Hikmatullah.1993. Inventarisasi dan karakterisasi lahan alang-alang. hlm. 1−18. Dalam S. Sukmana,Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H.Suhardjo, Y. Prawirasumantri. (Ed.).Pemanfaatan Lahan Alang- alang untuk Usaha Tani Berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang, Bogor, Desember 1992.Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.Badan Litbang Pertanian.

Subagyo, H., P. Sudewo, dan B.H. Prasetyo. 1986.Pedogenesis beberapa profil Mediteran Merah dari batu kapur di sekitar Tuban, Jawa Timur. hlm. 103−122. Dalam U. Kurnia, J.Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri(Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung, 10−13 November.1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.

Van Der Voort,M.1950.The Lateritic Soil Of Indonesia.Contribution Of The General Agriculural Research Station,Bogor,No.102













LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal Pratikum Dasar – Dasar Ilmu Tanah kelas B kelompok 3 2014/2015
No
Hari, Tgl/Bln/Tahun
Kegiatan Praktikum
1
Rabu, 23 Oktober 2014
-          Analisi pH tanah
-          Analisis Al-dd dan H-dd,
-          Analisis C-Organik
2
Sabtu, 27 Oktober 2014
-          Uji analisis kadar air tanah,
-          Analisis N total,
-          Analisis fosfor tersedia,
















Lampiran 2. Dokumentasi Pratikum Dasar – Dasar Ilmu Tanah kelas E kelompok 3
                              
Gambar 1. Erlemeyer
Gambar 2. Pipet ukur


Gambar 3. Desikator                                                   Gambar . Timbangan analitik
                                              Bahan-bahan yang digunakan







Pelaksanaan pratikum






Pengadukan tanah










Lampiran 3. Biodata Diri

Nama : Nordiyana
Kelas : E
Kelompok : 3
Jurusan : Agribisnis
Tempat/tanggal lahir : Lubuk Garam14 Juni 1995
SD Negeri 012 Lubuk Garam
SMP Negeri 3 Siak Kecil
SMK Negeri 1 Siak Kecil 2013
Alamat asal dari Desa Lubuk Garam Kecamatan Siak Kecil Kabupaten Bengkalis.
Sekarang melanjutkan perguruan tinggi di Universitas Islam Riau Pekanbaru dengan jurusan Agribisnis di Fakultas Pertanian..